beranda, foto

Senin, 07 Maret 2011

Sejarah Revolusi Hijau      
                           
Gagasan revolusi hijau menurut Adnyana, M.O, 2005, dimulai oleh Norman Borlaug, peneliti dari Amerika Serikat yang bekerja di Meksiko. PadaTahun 1960-an, Borlaug merakit jenis gandum yang responsif terhadap pupuk namun hasilnya belum memuaskan. Kemudian Borlaug menyilangkan varietas gandum lokal Meksiko dengan varietas asal Jepang yang pendek (dwarf) untuk menghasilkan tanaman yang dapat memanfaatkan pupuk lebih efisien. Varietas gandum temuan Borlaug kala itu mampu mengatasi kelaparan di negara-negara
sedang berkembang pada tahun 1960an. Varietas gandum ajaib tersebut dikembangkan secara luas oleh patani Meksiko, India dan Pakistan.
Pada Tahun 1970, Borlaug menerima hadiah Nobel di bidang pangan. Keberhasilan Borlaug dalam merakit varietas gandum menarik perhatian para pemulia di International Rice Research Institute (IRRI) untuk menciptakan padi ajaib. Dr. Te-Tzu Chang dkk, di IRRI, menyilangkan varietas pada Taiwan dan Indonesia yang menghasilkan varietas unggul IR– 8. ( Kinley, dalam dalam Notohadiprawiro, T, 1995). Penemuan varietas unggul gandum dan padi inilah menjadi tonggak sejarah revolusi hijau.

Revolusi Hijau mengemban misi untuk meningkatkan produksi pangan untuk menjawab kekhawatiran terjadinya kelangkaan pangan yang besar. Revolusi hijau dijalankan dengan prinsip intensifikasi dan ekstensifikasi. Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau mengandalkan varietas unggul yang berdaya tanggap besar terhadap masukan berupa pupuk kimia, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi atau dengan ketahanan varietas, ditanam secara monokultur, ada insentif menarik berupa subsidi dan didukung dengan system irigasi yang baik. Ekstensifikasi dilakukan dengan membuka banyak lahan baru untuk persawahan.
Menurut Rahardjo, (dalam Baiquni, M dan Susilawardani, 2002), pada Tahun 1968, Indonesia mengikuti jejak negara-negara di Asia untuk melakukan modernisasi pertanian melalui Revolusi Hijau. Program ini dilakukan seiring dengan tekad Orde Baru melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang meletakkan pembangunan pertanian sebagai skala prioritas pada awal periode pembanguan Orde Baru. Tujuan modernisasi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat Indonesia dan keinginan untuk mencapai swasembada beras pada Tahun 1974.
Usaha untuk mewujudkan swasembada beras menurut Adnyana, M.O, 2005, tidak dapat dipisahkan dari pengembangan ilmu pemuliaan tanaman dalam menghasilkan varietas padi unggul. Dr. Zainuddin Harahap, pemulia andal Badan Litbang Pertanian, telah menghasilkan berbagai varietas unggul padi, seperti Ciliwung, Cisadane, Memberamo dan Maros yang sampai sekarang masih banyak ditanam oleh petani.
Dengan segala daya upaya, Pemerintah berusaha untuk mensukseskan program ini dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mewujudkan swasembada pangan khususnya beras. Pemerintah dalam rangka mensukseskan revolusi hijau mencanangkan berbagai program misalnya Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas) kemudian dikembangkan kegiatan melalui kelompok tani seperti Intensifikasi Khusus (Insus) dan juga berbagai perangkat untuk membantu petani meningkatkan produktivitas usaha taninya telah diadakan misalnya, dalam hal kelembagaan, penyuluhan, kredit, pemasaran dan koperasi.
Berbagai program tersebut selain didukung dengan alokasi dana yang besar didukung pula dengan kepemimpinan dan koordinasi yang harmonis dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten bahkan sampai tingkat desa dengan pendekatan Top Down yang sangat kuat, Indonesia dapat mewujudkan swasembada beras pada Tahun 1984.

PERTANIAN ORGANIK

            Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan.
Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain:
  1. Menghindari penggunaan benih/bibit hasil rekayasa genetika (GMO = genetically modified organisms).
  2. Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis. Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis, dan rotasi tanaman.
  3. Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh  (growth regulator) dan pupuk kimia sintetis. Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan menambahkan residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman.
  4. Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak.
Pertanian organik merupakan salah satu metode produksi yang ramah lingkungan. Sistem produksi organik mendasarkan pada standar yang tepat dan spesifik produksi yang bertujuan mengembangkan agroekosistem secara sosial dan ekologis berkelanjutan. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang meminimalkan penggunaan input luar, menghindarkan penggunaan pupuk sintetis, pestisida sintetis (herbisida, fungisida), mikroba sintetis, bahan aditif dan pengawet sintetis dan irradiasi.
Pertanian organik saat ini merupakan salah satu alternatif makanan yang sehat, sebab dianggap tidak banyak mengandung hormon, obat-obatan, pestisida, dan pupuk sintetis. Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik antara lain : (1) Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman serta hewan, (2) Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan (3) Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.

ALASAN BERPINDAH KE PERTANIAN ORGANIK
Adalah sebuah hal yang lumrah bila tiap tesis selalu menimbulkan antitesis. Revolusi hijau yang didengung-dengungkan oleh kaum kapitalis, sebagai salah satu jalan efisiensi dan efektif pengelolaan pangan, kini juga mengalami antitesis pola pemikiran. Pemanfaatan besar-besaran dari industri pangan ternyata tidak selamanya membuat manusia puas di dalamnya.
Seharusnya kita berterima kasih kepada sebuah gerakan bernama revolusi hijau yang timbul pasca Perang Dunia II. Sebab tanpa adanya pemikiran gerakan tersebut bisa dipastikan banyak sekali manusia di bumi ini akan menderita kelaparan. Seperti kita tahu yang dimaksud revolusi hijau adalah sebuah sistem perubahan pola budi daya tanaman berdasarkan efisiensi.
Karena pola pemikiran itulah dilakukan upaya-upaya mekanisasi besar-besaran, pemanfaatan bibit unggul, penggunaan pupuk dengan dosis tinggi dan pemakaian pestisida sebagai upaya penanggulangan hama/penyakit pada tanaman.
 Di negeri pencetusnya, Amerika Serikat, mekanisasi penanaman gandum dilakukan dengan pesawat terbang sebagai alat penabur benih, pemupukan dan alat penyemprot pestisida.
Di Indonesia sendiri, aktualisasi pemikiran revolusi hijau ini dilakukan dengan penggunaan padi varietas unggul, kemudian dimulainya pemakaian traktor sebagai alat pengolah lahan dan mulai terbiasanya petani dengan alat pengolah gabah menjadi beras.
Siapa yang tidak ngiler dengan proyek ini. Pemanfaatan secara besar-besaran pada pola pemanfaatan tanaman memang menghasilkan panen dua kali lipat banyaknya. Kalau padi lokal baru bisa dipanen setelah enam sampai tujuh bulan dengan hasil dua ton per hektare, dengan revolusi hijau cukup tiga bulan padi sudah bisa dipanen dengan hasil rata-rata empat ton per hektare.
Dalam kenyataannya, pemanfaatan benih unggul menjadi semakin mutlak. Pemuliaan benih tak hanya dilakukan melalui teknik seleksi dan penyilangan, tapi juga dengan radiasi dan rekayasa genetika.
Namun, dampak negatifnya juga banyak. Ledakan hama sering terjadi karena predator alami hama ikut mati tersemprot pestisida. Lahan juga cenderung rusak akibat penggunaan pupuk dengan dosis tinggi. Hasil penelitian dari sebuah perguruan tinggi di Sumatra Utara menunjukkan bahwa sebagian besar perairan umum kita telah tercemar nitrogen dari pupuk urea. Maraknya penyakit kanker di negara-negara maju diduga, antara lain, disebabkan oleh makanan dari produk pertanian yang menerapkan konsep revolusi hijau.

KEMBALI KE PERTANIAN ORGANIK

            Dari sinilah munculnya gagasan untuk kembali bercocok tanam, beternak, dan memelihara ikan dengan cara tradisional dan hanya menggunakan bahan-bahan organik. Pertanian demikian kemudian populer dengan sebutan organic gardening atau pertanian organik.
Produk pertanian organik pasti tidak akan sebaik pertanian yang menerapkan konsep revolusi hijau. Wortel organik, misalnya, bengkok-bengkok dan kecil. Tapi, di pasar-pasar swalayan di Eropa, produk pertanian organik ini bisa dijual beberapa kali lipat dari harga produk biasa.
Di Indonesia, pertanian organik sudah dirintis sejak 1970-an oleh seorang pastor di kawasan Cisarua, Bogor. Kemudian belakangan berkembang pertanian sayuran organik di lereng Gunung Salak untuk memasok hotel-hotel berbintang di Jakarta. Di Jawa Tengah dan DIY, paguyuban Tani Organik juga sudah berkembang dengan komoditas padi organiknya.
Pertentangan antara dua paham pertanian ini acap tampak sangat seru dan masing-masing pihak berusaha mencari pembenaran untuk dirinya. Para penganut revolusi hijau ngotot bahwa pola pertanian merekalah yang benar. Jika tidak, dunia akan kelaparan. Sebaliknya, para penganut pertanian organik berapi-api dalam mengampanyekan pola pertanian mereka yang sehat dan ramah lingkungan. Padahal, dua aliran pertanian ini mestinya tidak perlu saling bertentangan.
Pertanian modern yang massal memang mutlak diperlukan. Tapi, penggunaan benih hasil rekayasa genetika, pupuk kimia, pestisida, dan hormon mestinya harus sangat dibatasi. Pertanian organik memang lebih sehat dan ramah lingkungan. Tapi, tidak mungkin diterapkan secara massal untuk keperluan agribisnis modern.
Selama ini kecurigaan para penganjur pertanian organik terhadap revolusi hijau memang beralasan. Misalnya, dalam program Bimas, Inmas, dan Insus yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru untuk pertanian padi ternyata tersembunyi pola perdagangan pupuk dan pestisida, yang di belakangnya ada perusahaan-perusahaan multinasional serta World Bank.
Peternakan ayam ras sebenarnya hanya dikuasai beberapa perusahaan besar yang memproduksi bibit ayam (DOC), pakan, dan obat-obatan. Jadi, petani dan peternak kecil kita sebenarnya hanya menjadi konsumen perusahaan-perusahaan besar tersebut. Dengan tidak mempertentangkan revolusi hijau dan pertanian organik, agribisnis kita bisa menjadi lebih efisien sekaligus lebih sehat dan ramah lingkungan. Sebab, antipupuk dan pestisida juga sulit untuk menjawab tantangan kebutuhan pangan di masa mendatang.
Kontrarevolusi
Maka tak salah juga bila banyak petani Indonesia sekarang menyalahkan keputusan pemerintah zaman Orde Baru, yang memaksakan kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan nasional dengan dasar revolusi hijau.
Pemanfaatan sebesarnya ternyata meninggalkan kerugian sebesarnya juga. Pola pemikiran sederhana tentang pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kebutuhan mungkin bisa menjadi dasar landasan pemanfaatan pola pemanfaatan tanaman sekarang.
Menurut data yang ada, bila kita memang mau mempraktikkan hal ini, maka mimpi menutupi kebutuhan pangan nasional akan bisa terwujud juga. Namun, dengan catatan beberapa faktor pendukung, seperti mulai dipikirkannya kebijakan seperti apa yang menjadi standar penilaian mutu hasil pertanian organik, kemampuan pemerintah mendukung sistem distribusi, dan kemauan rakyat Indonesia sendiri untuk menjadi ‘tuan’ sendiri di negeri mereka, bisa jadi adalah dukungan yang diharapkan oleh para petani tersebut saat ini.
Bergulirnya pemikiran pertanian organik, yang kembali pada fithrah pertanian memang ibarat lontaran bola salju yang makin lama makin membesar. Pola pemahaman pikir manusia yang terus berubah mengikuti waktu bukan suatu hal yang patut dipersalahkan. Kini, memang harus diakui pemikiran gerakan revolusi hijau sudah tidak pada tempatnya. Dan pemikiran kontrarevolusi hijau yang kini ada dengan pola pertanian organiknya adalah solusi terbaik untuk saat ini.

MANFAAT PERTANIAN ORGANIK
Sejumlah keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian organik adalah, antara lain:
1. Kesehatan  
  • Menghasilkan makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat. Data menunjukkan bahwa praktek pertanian organik mampu meningkatkan hasil sayuran hingga 75% dibanding pertanian konvensional. Disamping itu, produk pertanian organik juga mempunyai kandungan vitamin C,  kalium, dan beta karoten yang lebih tinggi.
  • Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani, karena petani akan terhindar dari paparan (exposure) polusi yang diakibatkan oleh digunakannya bahan kimia sintetik dalam produksi pertanian.
  • Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian. Karena pertanian organik: (1) Menghindari penggunaan bahan kimia sintetis dan (2) Memanfaatkan limbah kegiatan pertanian seperti kotoran ternak dan jerami sebagai pupuk kompos.
2. Lingkungan  
a. Kualitas Tanah
Menjaga sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang baik merupakan hal yang penting dalam pertanian organik. Untuk itu dalam pertanian organik diutamakan cara pengelolaan tanah yang meminimalkan erosi, meningkatkan kandungan bahan organik tanah serta mendorong kuantitas dan diversitas biologi tanah.

Dalam pertanian organik peningkatan kesuburan tanah dilakukan tanpa menggunakan pupuk kimia sintetis. Sebagai gantinya digunakan  teknik - teknik sebagai berikut :
  • Rotasi tanaman secara tepat,  mixed cropping dan integrasi tanaman dengan ternak.     
  • Meningkatkan populasi mikroorganisme tanah melalui penggunaan pupuk organik.     
  • Meminimalkan pengolahan tanah yang mengganggu aktivitas biota tanah.      
  • Menjaga tanah selalu tertutup dengan mulsa organik.     
  • Menghindari pengolahan tanah yang berlebihan pada tanah yang miring untuk  mencegah erosi.    
  • Menggunakan tanaman dalam strip dan tumpang sari.     
  • Menghindari penggembalaan yang berlebihan.     
  • Tidak menggunakan bahan kimia sintetis yang meracuni mikroorganisme tanah dan merusak struktur tanah. 
b. Penghematan energi
Hasil studi menunjukkan bahwa sistem produksi organik hanya menggunakan 50–80% energi minyak untuk menghasilkan setiap unit pangan dibandingkan dengan sistem produksi pertanian konvensional. Namun demikian, ini tidak berlaku untuk semua sistem produksi sayuran dan buah-buahan.
c. Kualitas Air
Penjagaan kualitas air merupakan upaya yang sangat penting dalam sistem pertanian lestari  (sustainable agriculture system). Kenyataan menunjukkan bahwa polusi air tanah (groundwater) dan air muka tanah (surface water) oleh nitrat dan fosfat menjadi hal yang umum terjadi di kawasan pertanian. Residu pupuk dan pestisida sintetis serta bakteri penyebab penyakit seperti Escherichia Coli juga seringkali terdeteksi di sistem perairan.
Pada areal pertanian organik, sumber air dijaga dengan menghindari praktek-praktek pertanian yang menyebabkan erosi tanah dan pencucian nutrisi, pencemaran air akibat penggunaan bahan kimia.  Kotoran hewan yang akan digunakan untuk pupuk organik selalu dikelola dengan hati-hati dan dikomposkan sebelum digunakan. Di samping itu, penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis juga dilarang dalam sistem pertanian organik.

d. Kualitas Udara
Pertanian organik terbukti mampu meminimalkan perubahan iklim global karena emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emission) pada pertanian organik lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional. Dalam pertanian organik tidak menggunakan pupuk nitrogen sintetis sehingga tidak ada emisi nitrogen oksida dari pupuk buatan tersebut.
Penggunaan minyak bumi juga lebih rendah sehingga menurunkan emisi gas karbon dioksida. Lebih penting lagi, pertanian organik menyediakan penampungan (sink) untuk karbon dioksida melalui peningkatan kandungan bahan organik di tanah serta penutupan permukaan tanah dengan tanaman penutup tanah.

e. Pengelolaan Limbah
Praktek pertanian organik mengurangi jumlah limbah melalui daur ulang limbah menjadi pupuk organik. Kotoran ternak, jerami dan limbah pertanian lainnya yang selama ini dianggap limbah, justru menjadi bahan yang mempunyai nilai sebagai sumber nutrisi dan bahan organik bagi pertanian organik.

f. Keanekaragaman Hayati
Pertanian organik tidak hanya menghindari penggunaan pestisida sintetis, namun juga mampu menciptakan keanekaragaman hayati. Praktek seperti rotasi pertanaman, tumpang sari serta pengolahan tanah konservasi merupakan hal-hal yang mampu meningkatkan keanekaragaman hayati dengan menyediakan habitat yang sehat bagi banyak spesies mulai dari jamur mikroskopis hingga binatang besar. Pertanian organik tidak menggunakan organisme hasil rekayasa genetika (Genetic Enggineering Organism) atau organisme transgenik (Genetically Modified Organism) serta produknya karena alasan keamanan lingkungan, kesehatan dan sosial. Produk-produk seperti ini tidak dibutuhkan karena mungkin menyebabkan resiko yang tidak dapat diterima pada integritas spesies.

Dampak Revolusi Hijau
Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.

Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah
2. Kesuburan tanah merosot / tandus
3. Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida
5. Keseimbangan ekosistem rusak
6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.

Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia  yang membuat banyak petani terlilit hutang.
            Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.
Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar